..
Hubungi +62-408-2421187 Fax: +62-408-2421155 pada jam 08:00 - 16.00 WITA
E-mail: pa_unaaha@live.com

PENERAPAN TEORI MASLAHAH PADA PERKARA PENGANGKATAN ANAK YANG SUDAH DEWASA


PENERAPAN TEORI MASLAHAH PADA PERKARA PENGANGKATAN ANAK YANG SUDAH DEWASA

DI PUBLIKASI YUDHI WIJAYA DALAM ARTIKEL HUKUM 16/07/19 862x

PENERAPAN TEORI MASLAHAH PADA PERKARA PENGANGKATAN ANAK YANG SUDAH DEWASA

Oleh; Shoim., S.HI 

(Calon Hakim Pada Pengadilan Agama Tamiang Layang  Kelas II Kalimantan Tengah  yang Magang pada Pengadilan Agama Tuban  Kelas I A Jawa Timur  )

A. Pendahuluan 

          Pengadilan Agama merupakan salah satu wujud dari pelaksana kekuasaan kehakiman   (Judicial Power) yang ada di Indonesia, Keberadaan Pengadilan Agama merupakan suatu keniscayaan (harus ada), hal tersebut terlihat dari mayoritas masyarakat Indonesia yang memeluk Agama Islam. Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia ditandai dengan munculnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, yang kemudian mengalami perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan mengalami perubahan kedua melalui Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Kewenangan Absolute Peradilan Agama secara jelas tercantum di dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor  3 tahun 2006, yang, mencakup sengketa antara orang-orang beragama Islam dalam bidang ; a).Perkawinan, b).Waris, c) Wasiat, d) Hibah, e) Wakaf, f) Zakat, g). Infaq, h) Shadaqah dan  i). Ekonomi Syariah.

       Penjelasan tentang pasal 49 yang terdapat dalam penjelasan angka 37, mencakup setidaknya ada 22 bidang hukum dalam perkawinan, diantaranya Izin poligami, dispensasi kawin, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, gugatan nafkah, (isteri, anak dan lampau), gugatan cerai, permohonan cerai talak, penyelesaian harta bersama, pengasuhan anak, perwalian, pengesahan anak, ssal usul anak, pengangkatan anak dan pengesahan nikah. Kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan dibidang perkawinan langsung bersentuhan antara orang dengan orang lainya, karena memang perkawinan merupakan bagian dari muamalah, sehingga dalam bidang hukum perkawinan tersebut ada hak dan kewajiban masing-masing yang harus diperhatikan dalam memutus dan mempertimbangkan dalam menyelesaikan masalah tersebut.

       Pengangkatan Anak merupakan salah satu perkara yang menjadi wilayah yuridiksi Peradilan Agama, hal ini menunjukkan bahwa dalam memutus perkara tersebut, Peradilan Agama harus adanya upaya serius sehingga keadilan akan mampu diwujudkan, dalam pengangkatan Anak muncul dua isu yang menjadi sangat penting untuk diperhatikan yaitu; pertama, perlu putusan yang mengandung adanya perlindungan terhadap hak-hak anak, kedua,  Isu keadilan terhadap anak yang tercermin dari kesanggupan dan kelayakan orang tua angkat, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.

       Peradilan Agama Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dihadapkan pada dua ekspektasi besar. Pertama, Peradilan Agama dituntut menegakkan hukum dan keadilan dengan sebaik-baiknya, Peradilan Agama dituntut untuk menerapkan hukum atas perkara in-concreto dengan memperhatikan fakta-fakta yang relevan dan menentukan, dari sisi ini Peradilan Agama dituntut untuk menerapkan aspek-aspek normatif dari hukum,[1] Kedua, Peradilan Agama juga dituntut untuk memperhatikan hak dan kewajiban subyek hukum yang sedang berperkara terlebih menyangkut hak anak. 

       Mahakamh Agung melalui Perma No 3 tahun 2017, secara tersirat mengisyaratkan   kepada semua badan Peradilan yang ada dibawahnya termasuk Peradilan Agama, dalam memutus perkara yang berhubungan langsung dengan perempuan dan Anak, harus lebih jeli dan memperhatikan asas yang berada pada pasal 2 dalam perma tersebut, antara lain; penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diksriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 

       Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan Argumentasi yang dibangun oleh Hakim pengadilan Agama yang memutus perkara tentang pengangkatan anak yang sudah dewasa, sehingga tidak terpenuhinya syarat formil sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak. 

B. Pembahasan

     1. Permasalahan 

       Penulis akan mencoba menjelaskan pertimbangan dan Argumentasi yang dibentuk oleh hakim Peradilan Agama Tuban, ketika dihadapkan pada permasalahan yang tidak sesuai dengan persayaratan secara normatif dalam Undang-Undang yang berlaku, namun apakah Hakim tersebut secara tegas menolak perkara tersebut ataukah tetap mengabulkan dengan disertai argumentasi pembaharuan hukum, yang dinilai lebih memiliki nilai keadilan dan kemaslahatan bagi para pencari keadilan.

      Pengadilan Agama Tuban dalam perkara permohonan pengangaktan anak yang telah diregister dengan nomor perkara 378/Pdt.P/2019/PA.Tbn, namun ada yang sedikit unik dalam perkara tersebut, yaitu umur anak yang ingin disahkan  sebagai anak angkatnya sudah berumur 23 tahun, hal ini terlihat dalam posita   permohonanya yaitu pemohon sudah mengasuh anak sejak berumur 2 tahun 

       Secara normatif Hakim Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara pengangkatan anak harus berpedoman pada Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak, dalam pasal 12  dijelaskan sebagai berikut;

Syarat anak yang diangkat meliputi;

  1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun 
  2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
  3. Berada dalam asuhan keluarga atau lembaga pengasuhan dan 
  4. Memerlukan perlindungan khusus
  5. Usia Anak Angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi;
  6. Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama
  7. Anak belum beruisa 6 (enam) tahun, sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
  8. Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus 

             Pada pasal tersebut dijelaskan secara tekstual bahwa proses pengangkatan anak haruslah memenuhi beberapa persyaratan seperti di atas, namun pada kasus yang terjadi pada Pengadilan Agama Tuban memiliki kondisi yang berbeda, yaitu anak yang akan disahkan pengangkatanya sudah berumur lebih dari 18 tahun. 

      2. Argumentasi dan Ijtihad Hakim 

            Peradilan Agama yang notabennya sebagai salah satu dari empat badan peradilan   di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang menjalankan fungsi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, memiliki tanggung jawab untuk tidak menolak dan memeriksa setiap perkara yang masuk dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskanya. Hal tersebut sesuai dengan pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tercantum sebagai beirkut;

            “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskanya”

            Selain itu dalam hukum acara perdata ada asas yang dikenal sebagai pertimbangan hukum (Racio Decidendi),[2]  maksudnya bahwa  semua putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, dalam putusan hakim harus memuat pula pasal tertentu serta peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Hal ini sesuai dengan  pasal 62 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989,  sebagai berikut;

            “Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang diajdikan dasar untuk mengadili “

            Dalam Bukunya Dr. H. A. Mukti Arto., SH. MH yang berjudul Pembaharuan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, memberikan kriteria tentang putusan yang bermutu pada lingkungan  Peradilan Agama, putusan dapat dikatakan berkualitas jika dalam putusan  tersebut setidaknya mengandung hal-hal sebagai berikut;

  1. Tertata dengan Baik 
  2. Sistematis
  3. Runtut
  4. Tidak mengandung term-term yang multitafsir
  5. Mengandung kejelasan 
  6. Mengandung pembaruan hukum Islam 

            Melihat uraian dari pernyataan-pernyataan di atas, sebagai seorang hakim berhak dan memiliki ruang untuk berargumen serta berijtihad dalam memutus dan menyelesaikan sebuah perkara yang ditanganinya, meski terkadang putusan tersebut berbeda  dan bahkan keluar dari hukum normatif yang ada, karena pada dasarnya ruh dari sebuah putusan adalah sisi keadilan, jika keadilan ditemukan dalam teks yang tidak ada di dalam hukum normatif, maka sebagai seorang hakim harus mampu mengambil jalan Ijtihad dan berargumentasi dalam putusannya.

            Bahwa dalam putusan yang berkualitas setidaknya harus mengandung pembaharuan hukum Islam, dalam artian hakim harus berani berkreasi untuk berijtihad dan tidak hanya pasrah dengan hukum normatif yang sudah ada, karena terkadang hakim dihadapkan pada posisi untuk mengambil dari sumber hukum atau dalil yang tidak tertulis. 

            Oleh Karenanya pasal 56 Undang-Undang Peradilan Agama, tidak memberikan batasan terhadap perkara apa saja yang harus dan boleh diperiksa, melainkan semua perkara yang masuk ke dalam Peradilan Agama wajib hukumnya seorang hakim untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan, dengan syarat seperti yang dijelaskan pada pasal 62 Undang-Undang Peradilan Agama, sepanjang seorang hakim tersebut mempunyai pertimbangan hukum dan argumentasi, serta dasar pemikiran atas putusannya, yang dicantumkan pada diktum putusan, maka hal tersebut dibenarkan.

            Oleh karenanya, seorang hakim memiliki peranan yang sangat penting dalam berijtihad serta beragumentasi dalam putusannya, sehingga putusan tersebut menjadi berkualitas dan berorientasi pada keadilan, dan bukan lagi hakim hanya sebagai corong dari Undang-Undang, melainkan hakim di era sekarang harus mampu dan memiliki tanggung jawab moralitas dalam setiap putusan yang diucapkannya.

       3. Penerapan Teori Maslahah Sebagai Landasaran Teori  Dalam Memutus Perkara Pengangaktan Anak Yang Sudah Dewasa 

            Pembaruan Hukum oleh hakim dalam Putusan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan tradisi fikih maupun hukum terapan lainnya kedalam refomulasi hukum baru yang tetap berpijak kedalam prinsip-prinsip syariah Islam, yang kemudian dikembangkan melalui asas-asas hukum demi mempertahankan ruh keadilan dengan mengacu pada cita hukum yaitu maqasid al-syariah, yang bertujuan untuk mewujudkan nilai kemaslahatan  pada setiap kasus. 

            Berbicara dengan ruh keadilan, serta cita hukum yang ada di dalam maqasid al-syariah yang bermuara pada kemaslahatan, hal tersebut merupakan intisari dari norma hukum terapan, Esensi hukum tersebut dapat berubah karena perubahan era, area dan keadaan. Esensi hukum sebenarnya merupakan illat atau alasan yang kemudian dirumuskan kedalam norma hukum baru, sehingga hal ini memberikan konsekuensi jika illat (alasan) hukum berubah , maka secara otomatis norma hukum yang berlaku harus dirubah karena menyesuaikan illat hukum tanpa menghilangkan esensi hukum yang berlaku, sehingga perumusan reformulasi illat hukum yang baru kemudian menjadi norma hukum yang baru, hal inilah yang dinamakan dengan pembaruan hukum. Sehingga dalam putusan hakim harus memiliki norma hukum sebagai berikut;[3]

  1.  Putusan hakim dapat menegakkan kembali fungsi hukum syariah  Islam yang mengalami disfungsi akibat adanya pelanggaran, sehingga putusan hakim mampu menciptakan kepastian hukum serta menciptakan ketertiban hukum serta memberikan perlindungan dan pelayanan hukum yang berkeadilan.
  2. Dapat memulihkan kembali hak-hak perdata pihak yang dirugikan akibat perbuatan yang dilakukan oleh pihak lawan, sehingga putusan hakim yang demikian dapat memiliki nilai keadilan serta memulihkan hak-hak para pihak yang berkepentingan dan menghilangkan kezaliman .
  3. Dalam putusan hakim dengan melihat adanya kasus-kasus yang berbeda disetiap perkara yang masuk, serta adanya kondisi yang berbeda pula maka tidak boleh seorang hakim terpaku ke dalam doktrin dan norma hukum yang ada saja, karena hukum konvensional yang berupa peraturan perundang-undangan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), memiliki sifat yang statis artinya terkadang hukum konvensional tersebut tidak bisa menciptakan ruh keadilan, karena tidak bisa menyesuaikan perkembangan zaman, atau adanya kasus yang berbeda situasi dan memerlukan norma hukum baru, sehingga sebagai seorang hakim yang perlu dijadikan prinsip dasar adalah keadilan, sehingga yang menjadi nomor satu  adalah keadilan sedangkan teks hukum adalah nomor dua.
  4. Putusan harus berpijak pada prinsip-prinsip dasar syariah Islam yaitu maqasid al- syariah, yang kemudian dikembangkan bersifat umum maupun khusus, yang memiliki tujuan untuk meuwujudkan maqasid al-syariah, yang memiliki muara terhadap ruh keadilan yaitu kesmalahatan, sehingga hasil akhir hakim mampu membuat sebuah hukum terapan baru yang mampu memberikan perlindungan hukum dan rasa keadilan dalam setiap kasus yang diselesaikannya.
  5. Fikih maupun peraturan perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan tembok batas hukum konvensional, jika hakim melihat keadilan dibalik tembok pembatas tersebut, maka hakim harus masuk kedalam area tersebut demi menemukan hukum yang berkeadilan dan menciptakan kemaslahatan. 

            Dalam kasus yang penulis analisis, yaitu pengangkatan anak yang sudah dewasa seperti penulis jelaskan pada poin permasalahan, secara hukum konvensional yang berlaku hakim dalam memutus berpedoman terhadap Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 yang mengatur tentang pelaksanaan pengangkatan anak,  pada pasal 12 secara rinci dijelaskan bahwa persyaratan secara formil anak yang diangkat haruslah berumur kurang dari 18 tahun. 

            Dalam Peraturan Pemerintah tersebut terdapat pemahaman norma hukum, bahwa setelah umur 18 tahun maka statusnya bukan anak lagi, melainkan sudah dianggap orang dewasa dan sudah cakap hukum, sehingga sudah bisa mandiri tanpa bantuan orang lain, namun terkadang   kasus faktual yang terjadi di tengah masyarakat tidak demikian, meskipun hal tersebut tidak dinafikan seluruhnya.   Sehingga persyaratan formil dalam pengangkatan anak tidak haruslah digeneralisir hanya terbatas pada umur 18 tahun, melainkan tetap memperhatikan kondisi kasus per kasus.    

            Namun demikian, pada putusan Pengadilan Agama Tuban 378/Pdt.P/2019/PA.Tbn,   anak yang akan diangkat dalam perkara tersebut sudah berusia 23 tahun, namun para pihak sudah mengasuhnya sejak umur 2 tahun, secara formil tidak memenuhi sayarat formil, namun majelis hakim memiliki argumentasi hukum yang sangat kuat, sehingga putusan majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut, dan mengesahkan pengangkatan anak tersebut. 

            Argumentasi yang dipakai dalam memutuskan perkara tersebut,  majelis hakim  menggunakan teori maslahah, yaitu dengan mengenyampingkan teks atau hukum konvensional  yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 yang mengatur tentang pelaksanaan pengangkatan anak,  dan majelis hakim nampaknya lebih mengutamakan teori maslahah dalam pertimbangan hukumnya.

            Teori kemaslahatan yang menjadi landasan argumen majelis hakim adalah  apa yang difinisikan oleh Syekh Jalal al-Din ‘Abdu al-Rahman, di dalam kitabnya yang berjudul al-Mashalihu al-Mursalah, secara lugas mendefinisikan maslahah dari sudut pandang kebiasaan orang Arab sebagai: 

Artinya; “Maslahah yang berlaku di lisan arab bermakna segala bentuk amal yang lahir memuat kemanfaatan bagi manusia.” [4]

            Bahwa maslahat adalah bentuk perbuatan yang membawa kemanfaatan bagi manusia, fokus utama dirumuskannya konsepsi maqashid al-syari’ah (tujuan pokok syariat) adalah untuk mendapatkan maslahah serta menghindari timbulnya mafsadah (kerusakan). Menurut Imam al-Ghazali, maslahah dibahasakan sebagai sabili al-ibtida’, untuk mewujudkan kesejahteraan. Upaya mewujudkan kesejahteraan adalah tidak boleh lepas dari upaya menghindar dari timbulnya mafsadah itu. Jika kesejahteraan digapai justru dengan menimbulkan mafsadah yang besar bagi manusia, maka  kemaslahatan itu pasti salah dalam menggapainya 

            Kemaslahatan pada kasus tersebut terlihat dari keterangan para saksi dan keterangan anak tersebut, bahwa memang nyata dan benar sejak umur 2 tahun telah diasuh dan dibesarkan selayaknya anak sendiri hingga anak tersebut menyelesaikan pendidikan sarjananya, meski syarat formil tersebut tidak terpenuhi karena anak tersebut sudah berumur 23 tahun, namun kemaslahatan itu sudah dhohir (nampak jelas), serta hal kemasalahatan terlihat dari tumbuh kembang anak, biaya hidup, biaya pendidikan sudah dilakukan oleh orang tua angkatnya, disisi lain orang tua anak tersebut sudah rela menyerahkan dan hingga kini orang tua dari anak tersebut tidak diketahui alamatnya. 

            Selain itu pertimbangan di atas, yang menjadi pertimbangan lainnya adalah jenis kelamin dari anak tersebut adalah perempuan, dan saat ini belum memiliki suami, sehingga masih diperlukan adanya bimbingan dari orang tua serta dari sisi  psikologi anak tersebut masih memerlukan sosok orang tua untuk mengantarkan anak tersebut menjadi pribadi yang dewasa, hal itu bisa   terwujud jika anak tersebut bersama orang tua angkatnya saat ini, Jika majelis hakim menolak   permohonan tersebut dengan beralasan dan berpdoman pada teks hukum yang ada,  justru hal tersebut tidak mencerminkan cita hukum dan rasa keadilan, karena tidak akan membawa dampak apapun terhadap anak tersebut.  

              kesmalahatan yang sudah dilakukan calon orang tua anak angkat tersebut sudah jelas-jelas terjadi, sedangkan teks hukum yang ada hanya mensyaratkan orang tua angkat harus bisa mencukupi kebutuhan  anak baik dari segi sandang, pangan, papan dan pendidikan, namun hal itu belum terjadi, karena persyaratan hanya bersifat pra atau sebelum hal itu dilakukan, sesuai pasal pasal 13 Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 sebagai berikut;

  1. sehat jasmani dan rohani;
  2. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
  3. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
  4. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
  5. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
  6. tidak merupakan pasangan sejenis;
  7. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
  8. alam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
  9. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
  10. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
  11. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat 
  12. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
  13. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

          Jika dalam peraturan tersebut, kesmalahatan yang sifatnya belum terjadi dalam artian masih akan terjadi, seperti apa yang dipersyaratan seperti diatas, maka menurut peraturan pemerintah tersebut permohonanya harusnya dikabulkan, maka apa yang sudah dilakukan oleh orang tua calon angkat dalam perkara nomor 378/Pdt.P/2019/PA.Tbn sudah terjadi dan lebih berhak untuk dikabulkan karena sudah nyata kemaslahatan itu terjadi, maka hal tersebut menurut majelis hakim lebih diutamakan, karena kesmalahatan terhadap anak lebih jelas dan sudah terjadi. 

          Oleh sebab itu, hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, sehingga putusannya sesuai keadilan yang ada dimasyarakat dengan menggunakan teori maslahah.  Meski terkadang harus bersebrangan dengan hukum konvensional yang sudah ada, namun jika itu adalah jalan untuk menciptkan ruh keadilan, maka sepatutnya hakim harus melakukan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
  

Suadi, Amran, Jurnal Hukum dan Peradilan Volum 07 Nomor 3 November 2018, Bogor, Pusdiklat Kumdil Mahkamah Agung RI.

Sumasno, Hukum Acara Peradilan yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama, Materi Hukum Acara disampaikan dalam rangka Pendidikan dan Profesi Khusus Advokasi Indonesia tanggal 18 April 2019

Arto, Mukti, Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2015 

‘Abdu al-Rahman, Jalal al-Din, al-Mashâlih al-Mursalah, (Kairo: Mathba’ah al-Sa’adah, 1983,)  

[1] Amran Suadi, Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 07 Nomor 3 November 2018, (Bogor, Pusdiklat Kumdil Mahkamah Agung RI)  h. 355

[2] Sumasno, Hukum Acara Peradilan yang berlaku pada lingkungan Peradilan Agama, Materi Hukum Acara disampaikan dalam rangka Pendidikan dan Profesi Khusus Advokasi Indonesia tanggal 18 April 2019 

[3] Mukti Arto, Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2015).Hal-9-10

[4] Jalal al-Din ‘Abdu al-Rahman, al-Mashâlih al-Mursalah, (Kairo: Mathba’ah al-Sa’adah, 1983,)  Hal. 12

 

 

Ada keluhan layanan atau aparat kami?