..
Hubungi +62-408-2421187 Fax: +62-408-2421155 pada jam 08:00 - 16.00 WITA
E-mail: pa_unaaha@live.com

JABATAN YANG NISBI (SEMENTARA), JANGAN SAMPAI MERUSAK HUBUNGAN YANG ABADI


JABATAN YANG NISBI (SEMENTARA), JANGAN SAMPAI MERUSAK HUBUNGAN YANG ABADI

DI PUBLIKASI HARIS EKA PUTRA L. S.IP., M.M DALAM OPINI 16/08/24 79x

JABATAN YANG NISBI (SEMENTARA), JANGAN SAMPAI MERUSAK HUBUNGAN YANG ABADI

oleh:

DRS. H. Muchlis, S.H., M.H

Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama

 

 

Pergantian jabatan pada setiap instansi pemerintah merupakan hal yang lumrah, karena  pada dasarnya, “Setiap Orang Ada Masanya, Setiap Masa Ada Orangnya”. Termasuk pada jabatan di lingkungan lembaga peradilan. Proses promosi dan mutasi sudah menjadi hal yang pasti dan akan dijumpai oleh setiap aparatur peradilan, apakah itu pimpinan pengadilan, hakim, pegawai, bahkan juga termasuk honorer.

Demikianlah siklus kehidupan. Setiap orang ada masanya. Tidak ada yang abadi. Jabatan yang diberikan hanyalah amanah yang bersifat nisbi (sementara).

Tidak hanya jabatan, pada hakikatnya kehidupan di dunia ini pun adalah sementara. Ada batas waktunya, yakni sampai menunggu kematian. Tidak ada manusia yang hidup selamanya. Pun halnya jabatan. Semua itu ada periodisasi dan limitnya, tak ada jabatan yang kekal dan abadi. Yang abadi ialah kehidupan setelah kematian.

Karena itulah, jabatan tidak boleh terlalu dikejar, apa lagi dengan cara-cara yang tidak wajar. Dalam hal ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdurrahman bin Samurah bersabda:

...يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا ...

 

Artinya: ... “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allah). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allah Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu...” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Nasihat Rasulullah tersebut merupakan gambaran penting manakala kita dihadapkan dengan suatu jabatan. Jabatan itu bukan untuk diminta, tetapi ketika ada kesempatan di mana kita berkualifikasi untuk mengikuti suatu jabatan ataupun ada panggilan untuk menempati jabatan tertentu, maka kita tidak boleh menolaknya. Karena itu merupakan panggilan tugas yang mana apabila kita laksanakan dengan baik dan ikhlas, niscaya Allah Ta’ala akan mudahkan segala urusannya sebagaimana hadis di atas yang juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari yang mengatakan, “Siapa yang mencari kekuasaan dengan begitu ambisiusnya, maka ia tidak akan ditolong oleh Allah, dan siapa yang melaksanakan kekuasaan tidak didasarkan pada minta-minta, maka Allah akan menolongnya”.

Mengejar jabatan dengan perantara yang tidak wajar pasti akan berujung penyesalan. Hal itu sebagaimana digambarkan dalam hadis lain bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya kamu sekalian akan berambisi untuk dapat memegang suatu jabatan tetapi nanti pada hari kiamat jabatan itu menjadi sebuah penyesalan. (H.R Bukhari). Munculnya penyesalan pada hadis tersebut disebabkan karena orang yang terlalu berambisi atas suatu jabatan tertentu cenderung tidak melihat kepada kapasitas dan kemampuannya, sehingga ketika mengemban jabatan, ia tidak mampu melaksanakan jabatan itu secara profesional sesuai dengan tugas dan fungsi jabatan tersebut. Sebab itulah, Rasulullah juga pernah bersumpah:

...إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ، وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْه

Artinya : “...Sungguh aku tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang berambisi terhadap jabatan itu...” (HR. Imam Bukhari, Imam An-Nasa’i, dan Imam Abu Daud).

Selain itu, hal terpenting dalam menjabat bukanlah lama atau sebentarnya menjabat. Tetapi kontribusi apa yang telah diberikan selama mengemban jabatan tersebut. Karena itu, pemimpin yang baik bukan hanya diukur saat ia masih menjabat, namun yang terpenting ialah kontribusi apa setelah ia menjabat. Pepatah mengatakan "gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama". Setiap pemimpin dapat memilih akankah ia meninggalkan nama yang baik atau buruk. Jika ia hendak memilih nama baik, maka nama itu harus diperjuangkan dengan perbuatan yang baik, semakin banyak kebaikan yang dilakukan, maka namanya pun semakin harum.

Atas dasar itulah, ketika kita sedang menjabat pada jabatan tertentu, maka bekerjalah dengan landasan niat yang ikhlas, komitmen yang tinggi, dan kesadaran spiritual bahwa apa yang kita lakukan selama menjabat adalah untuk ibadah kepada Allah Ta’la.

Pada ajaran Islam, dimensi bekerja dalam rangka menjalankan amanah dalam jabatan tergolong sebagai bagian dari eksistensi amal saleh yang dihitung sebagai bentuk ibadah. Syaratnya, yakni apabila kita bekerja dan menjalankan jabatan itu dimaksudkan dan diniatkan untuk mencapai tujuan untuk memperoleh kebaikan dan menjalankan amanah  dari Allah Ta’ala. Sebaliknya, jika kita bekerja dan menjalankan jabatan itu hanya ditujukan untuk kebahagiaan dunia semata, maka yang didapatkan seperti apa yang ditujukan tersebut. Artinya, tidak memiliki nilai spiritual yang langsung sebagai bukti ketaatan serta bentuk syukur kepada Sang Maha Pencipta. Itulah sebabnya, maka di setiap awal, dalam proses, dan akhir aktivitas bekerja, diajarkan untuk selalu berdo’a, serta mengingat akan Kuasa Sang Maha Pencipta atas segala sesuatu.

Eksistensi do’a bagi seorang muslim yang sedang menjalankan suatu jabatan dapat menjaga hubungannya dengan Yang Maha Kuasa, sekaligus menambah kesadaran akan bahwa seluruh usaha  dan ikhtiar yang diupayakannya  semata-mata karena atas izin dan kuasa sang Maha Pencipta. Atas do’a itulah, maka siapa pun yang hendak bekerja dan menjalankan jabatannya tidak akan pernah putus harapan terhadap Allah Ta’ala karena akhir dari upayanya akan dikembalikan kepada takdir dan keputusan-Nya.  

Selain berdo’a, tahapan selanjutnya ialah dengan meningkatkan etos kerja. Artinya, dalam menjabat seseorang wajib menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan bertanggungjawab. Dalam Islam, etos kerja bukan hanya untuk memuliakan diri namun juga manifestasi amal saleh dan bukti komitmen terhadap amanah yang diberikan padanya.

Ketika setiap pekerjaan diniatkan untuk ibadah dan dilakukan dengan etos kerja yang tinggi, maka jabatan yang awalnya adalah nisbi (sementara) itu akan menghasilkan berbagai kebaikan untuk sebagai bekal untuk kehidupan yang kematian setelah kematian. Tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi bagi keluarga, rekan-rekan, maupun institusi tempatnya menjabat.

Jakarta, 16 Agustus 2024

Ada keluhan layanan atau aparat kami?